Rabu, 03 Maret 2010

Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas ( ADHD )

1. Pengertian
Salah satu gangguan eksternalisasi adalah gangguan pemusatan perhatian/ hiperaktivitas ( ADHD ). Seorang anak yang selalu bergerak, mengetuk-ngetuk jari, menggoyang-goyangkan kaki, mendorong tubuh anak lain tanpa alasan yang jelas, berbicara tanpa henti, dan bergerak gelisah sering kali disebut hiperaktif. Anak-anak tersebut juga sulit berkonsentrasi pada tugas yang sedang dikerjakannya dalam waktu yang tertentu yang wajar. Diagnosis ADHD tidak tepat untuk anak-anak yang rebut, aktif, atau agak mudah teralih perhatiannya karena di tahun-tahun awal sekolah anak-anak sering berperilaku demikian ( Whalen, 1983 ).
Anak-anak yang mengalami ADHD tampak mengalami kesulitan untuk mengendalikan aktivitas mereka dalam berbagai situasi yang menghendaki mereka duduk tenang, seperti di dalam kelas atau saat makan. Bila disuruh untuk tenang, mereka tampaknya tidak bisa berhenti bergerak atau berbicara. Mereka terdisorganisasi, eratik, tidak berperasaan, keras kepala, dan bossy. Aktivitas dan gerakan mereka tampak tidak teratur dan tidak terarah. Mereka membuat pakaian dan sepatu mereka cepat rusak, merusak mainan, dan menghabiskan tenaga orang tua dan guru-guru mereka.
Meskipun demikian, mereka sulit dibedakan dari anak-anak yang tidak mengalami ADHD ketika sedang bermain bebas, di mana hanya terdapat sedikit pembatasan pada perilaku. Hal ini mengindikasikan bahwa anak-anak yang tidak mengalami ADHD juga dapat sama ributnya dan sama di luar batasnya dengan anak-anak yang mengalami ADHD bila tidak ada batasan-batasan dari orang dewasa. Banyak anak yang mengalami ADHD mengalami kesulitan besar untuk bermain bersama anak-anak seusia mereka dan menjalin persahabatan ( Hinshaw & Melnick, 1995; Whalen & Henker, 1985 ), mungkin karena perilaku mereka sering kali agresif dan secara umum tidak menyenangkan serta mengganggu bagi yang lain.
Anak-anak ADHD yang agresif bermain dengan tujuan mencari sensasi, seperti membuat keributan, berusaha mendominasi, dan pamer, sedangkan anak-anak pembanding lebih mungkin memiliki tujuan untuk bermain sportif ( Melnick & Hinshaw, 1996 ). Anak-anak ADHD dapat mengetahui tindakan yang dibenarkan secara sosial dalam berbagai situasi hipotesis, namun tidak mampu mempraktikkan pengetahuan tersebut ke dalam perilaku yang sesuai dalam interaksi sosial yang nyata ( Whalen & Henker, 1985, 1999 ). Anak-anak ADHD sering kali dengan cepat dijauhi dan ditolak atau diabaikan oleh teman-teman seusia mereka.

2. Tiga macam simton ADHD
Karena simton-simton ADHD bervariasi, DSM-IV-TR mencantumkan tiga subkategori, yaitu sebagai berikut:
- Tipe Predominan inatentif: Anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi.
- Tipe Predominan Hiperaktif-impulsif: anak-anak yang masalah terutama diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif.
- Tipe kombinasi: Anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah di atas.

Tipe kombinasi merupakan tipe yang paling banyak dialami oleh anak-anak ADHD. Anak-anak tersebut lebih mungkin mengalami berbagai masalah tingkah laku dan menunjukkan perilaku oposisi, dimasukkan dalam berbagai kelas khusus untuk anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, dan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan anak-anak seusia mereka ( Barkley dkk., 1990; Faraone dkk., 1998 ). Tidak jelas apakah beberapa perbedaan yang tampak antara tipe kombinasi dan tipe predominan inatentif juga terdapat pada anak-anak perempuan dengan ADHD ( a.l., Biederman dkk., 1999; Hinshaw, di media; Hinshaw dkk., di media ).
Kesulitan dalam membedakan diagnosis adalah antara ADHD dan gangguan tingkah laku ( GTL ), yang mencakup pelanggaran besar terhadap norma-norma sosial. ADHD lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas di sekolah, kelemahan kognitif dan rendahnya prestasi, dan prognosis jangka panjang lebih baik. Anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku bertingkah di sekolah dan dimana pun kemungkinan jauh lebih agresif serta mungkin memiliki orang tua yang anti sosial. Bila kedua gangguan tersebut dialami oleh seorang anak, karakteristik yang paling buruk dari masing-masing gangguan tersebut akan terwujud dalam perilakunya.
ADHD dapat terjadi lebih dulu, dengan perilaku buruk si anak yang menimbulkan reaksi keras dari teman-teman sebaya dan orang dewasa; kemudian situasi tersebut memburuk dengan serangan balik yang lebih ekstrem, yang akhirnya menghasilkan perilaku agresif yang merupakan karakteristik gangguan tingkah laku. Gangguan internalisasi, seperti kecemasan dan depresi, juga sering kali dialami bersamaan dengan ADHD. Sangat banyak bukti yang mengindikasikan bahwa ADHD lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, namun angka pastinya tergantung pada apakah sampel tersebut diambil dari rujukan klinis atau dari populasi umum.
Sebagian besar anak yang meman mengalami ADHD menunjukkan aktivitas berlebihan dan perilaku temperamental pada usia yang cukup dini. Rasa ingin tahu mereka yang berlebihan dan sangat energetik dalam bermain membuat perlindungan anak menjadi hal penting untuk mencegah berbagai tragedi seperti keracunan tanpa sengaja, jatuh terjungkal dari tangga, dan jatuh dari jendela. Masa-masa prasekolah sangat penuh stress bagi orang tua yang memiliki anak ADHD, masalah yang timbul semakin besar ketika anak-anak mulai bersekolah dan mendadak diharuskan untuk duduk tenang dalam waktu yang cukup lama, menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri, dan bernegosiasi dengan teman-teman sebaya di lapangan bermain.

3. Teori Biologis ADHD
Faktor genetik. Bila orang tua mengalami ADHD, sebagian anak mereka kemungkinan memiliki gangguan tersebut ( Biederman dkk., 1995 ). Mengenai apa tepatnya yang diturunkan dalam keluarga hingga kini belum diketahui, namun berbagai studi baru-baru ini menunjukkan bahwa fungsi dan struktur otak berbeda pada anak-anak dengan dan tanpa ADHD.
Faktor-faktor Perintal dan Pranatal. Berat lahir rendah, contohnya merupakan prediktor yang cukup spesifik bagi perkembangan ADHD ( a.l., Breslau dkk., 1996; Whitaker dkk., 1997 ).
Racun Lingkungan. Beberapa teori ADHD terdahulu yang cukup popular pada tahun 1970-an menyangkut peran berbagai racun lingkungan dalam terjadinya hiperaktivitas. Feingold mengemukakan bahwa zat-zat aditif pada makanan mempengaruhi kerja sistem saraf pusat pada anak-anak hiperaktif dan ia meresepkan diet tanpa zat aditif. Pendapat popular bahwa gula putih dapat menyebabkan ADHD ( Smith, 1975 ) tidak di dukung oleh peneliti teliti ( Wolraich, Wilson, & While, 1995 ). Nikotin, terutama merokok ketika hamil merupakan racun lingkungan yang dapat berperan dalam terjadinya ADHD.

4. Teori Psikologis ADHD
Psikoanalisis anak, Bruno Bettelheim ( 1973 ) mengemukakan teori diathesis-stres mengenai ADHD, yang menyatakan bahwa hiperaktivitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan tersebut dipasangkan dengan pola asuh yang otoritarian. Jika seorang anak yang mengalami disposisi aktivitas yang berlebihan dan mudah berubah moodnya mengalami stress karena orang tua yang mudah menjadi tidak sabar dan marah, si anak dapat menjadi tidak mampu manghadapi tuntutan orang tuanya untuk selalu patuh. Dengan terbentuknya pola perilaku mengganggu dan tidak patuh, si anak tidak dapat mengatasi berbagai tuntutan di sekolah, dan perilakunya sering kali bertentangan dengan berbagai aturan di kelas.

5. Penanganan ADHD
ADHD umumnya ditangani dengan pemberian obat dan berbagai metode behavioral berdasarkan pengkondisian operant.
Pemberian Obat Stimulan. Obat-obat stimulant, khususnya metilfenidat, atau Ritalin, telah diresepkan bagi ADHD sejak awal tahun 1960-an ( Sprague & Gadow, 1976 ). Obat-obat yang digunakan untuk menangani ADHD mengurangi perilaku mengganggu dan meningkatnya kemampuan untuk berkonsentrasi. Mungkin uji coba klinis terkendali secara random dengan desain terhadap penanganan ADHD adalah Multimodal Treatment of Children with ADHD, atau studi MTA. Studi tersebut dilakukan di enam lokasi yang berbeda selama 14 bulan terhadap hampir 600 anak ADHD, membandingkan tiga jenis penanganan, yaitu (1) pemberian obat saja, (2) pemberian obat ditambah dengan penanganan behavioral intensif, melibatkan orang tua dan guru; dan (3) penanganan behavioral saja.
Penanganan Psikologis. Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi anak-anak dengan ADHD mencakup pelatihan bagi orang tua dan perubahan manajemen kelas berdasarkan prinsip-prinsip pengkondisian operant. Dalam berbagai penangan tersebut, perilaku anak-anak dipantau di rumah dan di sekolah, dan mereka diberi penguat untuk berperilaku sesuai harapan, contohnya tetap duduk di kursi dan mengerjakan tugas-tugas mereka. Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik, menyelesaikan tugas-tugas rumah, atau belajar keterampilan sosial spesifik, dan bukan mengurangi tanda-tanda hiperaktivitas, seperti berlari ke sana ke mari dan menggoyang-goyangkan kaki.


Sumber:
PSIKOLOGI ABORMAL ( jilid 7 )
ANNE M.KRING, dkk..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar