Sabtu, 27 Maret 2010

Disabilitas Belajar

Disabilitas Belajar
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya perkembangan dalam suatu bidangakademik tertentu, bahasa, berbicara, atau keterampilan motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental, autisme, gangguan fisik yang dapat terlihat, atau kurangnya kesempatan pendidikan. Anak-anak yang mengalami gangguan ini biasanya memiliki inteligensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun mengalami kesulitan mempelajari beberapa keterampilan tertentu ( aritmetika atau membaca ) sehingga kemajuan mereka di sekolah menjadi terhambat.
Istilah disabilitas belajar tidak digunakan dalam DSM-IV-TR, namun digunakan oleh sebagian besar professional kesehatan untuk menggabungkan tiga gangguan yang tercantum dalam DSM: gangguan perkembangan belajar, gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motorik. Masing-masing gangguan tersebut dapat ditegakkan pada seorang anak yang tidak dapat berkembang sesuai tingkat intelektualitasnya dalam bidang akademik spesifik, bahasa, atau keterampilan motorik. Disabilitas belajar sering kali teridentifikasi dan ditangani dalam sistem sekolah dan bukan di berbagai klinik kesehatan mental.
Meskipun diyakini jauh lebih umum terjadi pada laki-laki disbanding perempuan, bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai studi berbasis populasi ( yang menghindari masalah bias-bias rujukan ) mengindikasikan bahwa gangguan tersebut hanya sedikit lebih lebih banyak terjadi pada laki-laki ( a.l., Shaywitz dkk., 1990 ). Meskipun para individu dengan disabilitas belajar biasanya dapat menemukan cara untuk mengatasi masalah mereka, bagaimana pun hal itu mempengaruhi perkembangan akademik dan sosial mereka, dan terkadang cukup parah.

Kriteria Gangguan Perkembangan Belajar dalam DSM-IV-TR:
* Prestasi dalam bidang membaca, berhitung, atau menulis ekspresif di bawah tingkat yang diharapkan sesuai usia penderita, pendidikan, dan inteligensi.
* Sangat menghambat performa akademik atau aktivitas sehari-hari.
1. Gangguan Perkembangan Belajar
Gangguan perkembangan belajar menurut DSM-IV-TR membagi tiga kategori, yaitu: gangguan membaca, gangguan menulis ekspresif, dan ganguan berhitung. (1) Anak-anak dengan gangguan membaca, yang dikenal sebagai disleksia mengalami kesulitan besar untuk mengenali kata, memahami bacaan, serta umumnya menulis ejaan. Bila membaca dengan keras mereka melewatkan, menambah, atau menyimpangkan pengucapan kalimat hingga ke tingkat yang tidak umum pada usia mereka. (2) Gangguan menulis ekspresif menggambarkan kemampuan untuk menyusun kata tertulis ( termasuk kesalahan pengejaan, kesalahan tata bahasa atau tanda baca, atau tulisan tangan yang sangat buruk ) yang cukup parah sehingga dapat sangat menghambat prestasi akademik atau aktivitas sehari-hari yang memerlukan keterampilan menulis. (3) Anak-anak dengan gangguan berhitung dapat mengalami kesulitan dalam mengingat fakta-fakta secara cepat dan akurat, menghitung objek dengan benar dan cepat, atau mengurutkan angka-angka dalam kolom-kolom.
2. Gangguan Komunikasi
Beberapa kategori gangguan komunikasi, yaitu:
A. Dalam gangguan berbahasa ekspresif, anak mengalami kesulitan mengekspresikan dirinya dalam berbicara. Si anak tampak sangat ingin berkomunikasi. Namun mengalami kesulitan kesulitan luar biasa untuk menemukan kata-kata yang tepat. Contohnya, ia tidak mampu mengucapkan kata “mobil” ketika menunjuk sebuah mobil yang melintas di jalan. Di usia empat tahun, anak tersebut hanya mampu berbicara dengan kalimat pendek. Kata-kata yang sudah dikuasai terlupakan ketika kata-kata yang baru dikuasai dan penggunaan struktur tata bahasa sangat di bawah tingkat usianya.
B. Tidak seperti anak-anak yang mengalami kesulitan untuk menemukan kata yang tepat, anak-anak yang mengalami gangguan fonetik menguasai dan mampu menggunakan perbendaharaan kata dalam jumlah besar, namun pengucapannya tidak jelas. Contohnya, biru diucapkan sebagai biu, dan kelinci terdengar seperti kinci. Mereka tidak menguasai artikulasi suara dari huruf-huruf yang dikuasai terkemudian, seperti r,s,t,f,z,1 dan c. Melalui terapi bicara dapat dicapai kesembuhan dalam hampir semua kasus, dan kasus ringan dapat sembuh dengan sendirinya di usia 8 tahun.
C. Gangguan komunikasi yang ketiga adalah gagap, yaitu gangguan kefasihan verbal yang ditandai dengan satu atau lebih pola bicara berikut ini: seringnya pengulangan atau pemanjangan pengucapan konsonan atau vocal, jeda yang lama antara pengucapan satu kata dengan kata berikutnya, mengganti kata-kata yang sulit diucapkan dengan kata yang mudah diucapkan ( kata-kata yang diawali dengan konsonan tertentu ), dan mengulang kata ( mengatakan “ke-ke-ke-ke” sebagai ganti sekali mengatakan “ke” ). Kadang ketidakfasihan verbal tersebut disertai dengan tic ( kerang ) pada tubuh dan mata berkedip-kedip. Kegagapan dapat menghambat fungsi akademik, sosial, dan pekerjaan serta aktualisasi potensi orang-orang yang pada dasarnya memiliki kemampuan. Kegagapan sering kali menjadi lebih buruk bila orang yang bersangkutan merasa gugup dan sering kali membaik atau bahkan hilang bila orang tersebut bernyanyi. Kegagapan seorang hampir sepenuhnya hilang bila ia bermain dalam drama panggung, meskipun berada di atas panggung cukup memancing kecemasan baginya. Jumlah laki-laki yang mengalami masalah ini sekitar 3 kali lebih banyak dari perempuan, yang biasanya muncul di sekitar usia 5 tahun dan hampir sebelum usia 10 tahun.
3. Gangguan Keterampilan Motorik
Pada gangguan keterampilan motorik, yang disebut sebagai gangguan koordinasi perkembangan, seorang anak mengalami hendaya parah dalam perkembangan koordinasi motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental atau gangguan fisik lain yang telah dikenal seperti sebral palsi. Anak tersebut dapat mengalami kesulitan mengikat tali sepatunya dan mengancingkan baju dan bila berusia lebih besar, membuat suatu bangun, bermain bola, dan mengggambar atau menulis. Diagnosis hanya ditegakkan bila hendaya tersebut sangat menghambat prestasi akademik atau berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari.

Etiologi Disabilitas Belajar
1. Etilogi Disleksia
Berbagai teori psikologi di masa lalu memfokuskan pada kelemahan perceptual sebagai basis disleksia. Sebuah hipotesis populer menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami masalah membaca melihat huruf-huruf dalam posisi sebaliknya atau dalam citra cermin, melihatnya sebagai huruf lain, contohnya, melihat huruf b sebagai huruf d. Meskipun demikian, berbagai temuan yang lebih mutakhir tidak mendukung hipotesis ini ( Wolff & Melngailis, 1996 ); sebagian besar anak membaca huruf secara terbalik ketika pertama kali belajar membaca, namun para individu disleksia sekalipun sangat jarang melihat huruf secara terbalik setelah berusia 9 atau 10 tahun.
Tidak ditemukan hubungan antara kesalahan membaca huruf pada usia 5 atau 6 tahun dan kemampuan membaca setelahnya ( Calfee, Fisk, & Piontkowski, 1985 ), juga tidak hanya orang yang mampu melihat saja yang dapat mengalami masalah membaca, orang-orang tuna netra dapat mengalami kesulitan belajar membaca huruf Braille ( McGuiness, 1981 ). Beberapa anak tertentu lebih mungkin mengalami disleksia, yaitu: mereka yang mengalami kesulitan menyebutkan nama objek familiar dengan cepat pada usia 5 tahun ( Scarborough, 1990; Wolf, Bally, & Morris, 1986 ) dan mereka yang terlambat menguasai berbagai aturan bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun.
Berbagai studi yang menggunakan berbagai macam teknik pencitraan otak selama melakukan tugas-tugas visual, pendengaran, dan bahasa mengungkap adanya perbedaan dalam aktivasi berbagai bagian tertentu dalam otak antara para individu disleksik dan yang tidak disleksik. Bukti lain juga menunjukkan bahwa abnormalitas otak yang kemungkinan bersifat keturunan, kemungkinan bertanggun jawab atas disleksia. Contohnya, otopsi otak pada beberapa individu yang mengalami di masa kanak-kanak mengungkap adanya abnormalitas mikroskopik pada lokasi, jumlah, dan pengaturan neuron di daerah yang disebut daerah bahasa posterior pada korteks ( Galaburda, 1989, 1993 ).
2. Etiologi Gangguan Berhitung
Terdapat tiga subtipe gangguan berhitung yang diajukan oleh para ahli ( Geary, 1993 ). Subtipe pertama menyangkut kelemahan memori verbal semantik ( memori mengenai arti kata-kata ) dan memicu timbulnya masalah dalam mengingat fakta-fakta aritmetik, bahkan melalui latihan ekstensif. Tipe gangguan berhitung ini tampaknya berhubungan dengan beberapa disfungsi pada belahan kiri otak dan sering kali terjadi bersamaan dengan gangguan membaca.
Tipe kedua, subtipe berhitung menyangkut penggunaan strategi yang tidak sesuai denga tahap perkembangan dalam menyelesaikan soal-soal aritmetik dan seringnya melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal sederhana. Contohnya, bila anak-anak kelas 1 yang mengalami gangguan dalam subtipe ini di minta untuk menjumlahkan 3 dan 4, pertama-tama mereka menghitung sampai 3 dengan jari mereka, kemudian menghitung lagi sejumlah 4. Secara kontras, anak-anak seusia yang memiliki kemampuan yang lebih normal dalam matematika memulai dengan menunjukkan 4 jari ( tanpa menghitungnya ), kemudian menghitung lagi sejumlah 3 dengan jari ( Geary & Brown, 1991 ; Geary & Brown, & Samaranayake, 1991 ).
Tipe subtipe ketiga yang jarang terjadi dalam gangguan berhitung tampaknya menyangkut hendaya keterampilan visuspasial, yang mengakibatkan kesalahan dalam mengurutkan angka-angka dalam kolom atau melakukan kesalahan penempatan angka ( meletakkan poin desimal di tempat yang salah ). Tipe gangguan ini memiliki kemungkinan kecil berhubungan dengan gangguan membaca daripada subtipe memori semantik.
Belum ada dilakukan studi mengenal faktor keturunan dalam gangguan berhitung, terdapat bukti-bukti mengenai beberapa komponen genetik dalam variasi individual dalam keterampilan berhitung. Secara khusus, tipe disabilitas berhitung yang menyangkut hendaya memori semantik merupakan tipe yang paling mungkin diturunkan. Sebuah studi terhadap lebih 250 orang kembar melalui Colorado Learning Disabilities Research Center menunjukkan bahwa faktor-faktor genetic yang sama mendasari kelemahan membaca dan berhitung pada anak-anak yang mengalami kedua gangguan tersebut ( Gillis & DeFries, 1991 ).
Penanganan Disabilitas Belajar
Kecemasan orang tua yang anak-anaknya mengalami keterlambatan dalam membaca atau tidak dapat berbicara secara efektif sesuai dengan usianya tidak dapat diremehkan. Berbagai upaya professional untuk mengatasi disabilitas belajar telah menjadi subjek trend somatik, edukasional, dan psikologis mulai dari penggunaan stimulant dan penenang hingga melatih anak dalam aktivitas motorik ( seperti merangkak ) yang diyakini tidak dikuasai dengan baik di usia dini. Harapannya adalah latihan motorik semacam itu akan mengorganisasi ulang beberapa koneksi neuron di otak.
Sebagian besar penanganan untuk disabilitas belajar dilakukan dalam berbagai program pendidikan khusus di sekolah-sekolah umum. Berbagai pendekatan edukasional mencakup mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan kognitif anak seraya menghindari kelemahannya, menargetkan keterampilan belajar dan strategi organisasional dan mengajarkan strategi instruksi diri secara verbal ( Culberston, 1998 ). Meskipun intervensi pendidikan khusus merupakan hal yang sangat umum, efektifitasnya dalam meningkatkan kinerja akademik anak-anak yang mengalami ketidakmampuan belajar belum pernah di evaluasi secara teliti ( Council for Exceptional Children, 1993 ).
Beberapa strategi saat ini digunakan untuk menangani disabilitas belajar, baik dalam program sekolah, maupun dalam pembimbingan privat. Pendekatan linguistik tradisional, yang terutama digunakan dalam kasus kesulitan membaca dan menulis, memfokuskan pada instruksi dalam keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis dengan cara yang logis, berurutan, dan multi indrawi, seperti membaca dengan keras seraya disupervisi dengan teliti. Pada anak-anak kecil, keterampilan membaca, seperti membedakan huruf, analisis fonetik, dan mempelajari kaitan huruf-huruf bunyi, mungkin perlu diajarkan sebelum instruksi eksplisit dalam membaca dicobakan.
Berbagai temuan National Reading Panel, sebuah kajian komprehensif terhadap penelitian mengenai pengajaran membaca pada anak-anak yang mengalami kesulitan membaca. Fonik mencakup instruksi dalam mengubah bunyi menjadi kata ( National Institute of Child and Human Development, 2000 ). Para individu yang mengalami disleksia sering kali dapat mencapai keberhasilan di perguruan tinggi dengan bantuan dukungan instruksional, seperti kuliah, pembimbingan, suntingan artikel, dan ujian yang tidak dibatasi waktu yang direkam dalam kaset ( Bruck, 1987 ).
Perguruan-perguruan tinggi diharuskan oleh hukum untuk menyediakan perencanaan pekerjaan dan karier transisional bagi para remaja akhir yang mengalami disabilitas belajar. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi beberapa perkembangan menarik dalam penanganan ganguuan berkomunikasi ( Merzenich dkk., 1996; Talk dkk., 1996 ). Berdasarkan berbagai temuan sebelumnya bahwa anak-anak yang mengalami gangguan semacam itu sulit membedakan beberapa bunyi tertentu, para peneliti mengembangkan permainan komputer khusus dan rekaman audio yang memperlambat pengucapan bunyi.
Setelah latihan intensif dengan stimuli bicara yang dimodifikasi tersebut selama satu bulan, anak-anak yang mengalami gangguan bahasa berat mampu meningkatkan keterampilan bahasa mereka hingga melompati hampir dua tahun kemampuan, ke titik dimana mereka berfungsi seperti anak-anak yang berkembang secara normal. Latihan sejenis yang menggunakan stimuli bicara yang tidak di modifikasi menghasilkan kemajuan yang sangat sedikit. Berdasarkan temuan awal yang menjanjikan, para peneliti memperluas penanganan tersebut, sekarang disebut Fast FordWord, dan melakukan studi yang lebih besar yang melibatkan 500 anak dari Amerika Serikat dan Kanada.
Anak-anak menjalani latihan harian selama 6 hingga 8 minggu, dan hasilnya sekali lagi menunjukkan bahwa intervensi tersebut efektif. Anak-anak mengalami peningkatan dalam keterampilan bicara, bahasa, dan pemrosesan auditori hingga melompati sekitar satu setengah tahun kemampuan ( Tallal dkk., 1998 ). Para peneliti berspekukulasi bahwa metode latihan ini bahkan dapat membantu mencegah disleksia karena anak-anak yang mengalami gangguan membaca mengalami kesulitan memahami bahasa semasa usia lebih dini.
Sebagian besar anak yang mengalami disabilitas belajar kemungkinan telah mengalami begitu banyak rasa frustasi dan kegagalan sehingga menipiskan motivasi dan kepercayaan diri mereka. Apa pun desainnya, berbagai program penanganan harus memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengalami rasa kemampuan dan self efficacy. Menghargai setiap langkah kecil dapat membantu meningkatkan motivasi anak, memfokuskan perhatian pada tugas pembelajaran, dan mengurangi masalah behavioral yang diakibatkan oleh rasa frustasi.
Selain menargetkan keterampilan akademik, penanganan bai anak yang mengalami ketidakmampuan belajar harus mencakup strategi untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial dan emosional sekunder yang mereka alami. Contohnya, memberikan pengetahuan kepada anak-anak dan orang tua mengenai disabilitas tersebut, dan mengajari mereka berbagai strategi untuk beradaptasi akan membantu mereka meningkatkan kemampuan penyesuaian secara keseluruhan ( Culbertson, 1998 ).

1. ENURESIS
DSM-IV-TR dan berbagai system klasifikasi lainnya membedakan anak-anak yang mengompol ketika tidur disebut enuresis nocturnal, anak-anak yang mengompol ketika bangun disebut enuresis diural, dan anak-anak yang mengompol di siang dan malam hari. DSM-IV-TR memperkirakan bahwa pada usia 5 tahun, 7 % anak laki-laki dan 3 % anak perempuan masih mengompol. Pada usia 10 tahun, 3% anak laki-laki dan 2% anak perempuan.
2. Penyebab Enuresis
Sebuah temuan konsisten menyatakan bahwa kemungkinan seorang anak enuretik memiliki kerabat tingkat pertama yang juga mengompol sangat tinggi, mendekati 75% ( Bakwin, 1973 ). Sebanyak 10% dari seluruh kasus enuresis disebabkan oleh kondisi medis murni, seperti infeksi saluran urin, penyakit ginjal kronis, tumor, diabetes, dan kejang ( Kolvin, McKeith, & Meadow, 1973; Stansfield, 1973 ). Pengendalian kandung kemih, yaitu penghambatan suatu refleks alami hingga berkemih dengan sengaja dapat dilakukan.
Bukti-bukti media mengenai aktivitas otot-otot panggul bawah mendukung pemikiran bahwa anak-anak yang mengompol tidak dapat melakukan kontraksi spontan pada otot-otot tersebut di malam hari ( Norgard, 1989a, 1989b ). Para teoris pembelejaran berpendapat bahwa anak-anak mengompol karena mereka tidak belajar untuk terbangun di malam hari sebagai respons yang dikondisikan atas penuhnya kandung kemih atau untuk menghambat relaksasi otot lingkar yang mengendalikan urinasi ( Walker, 1995 ).
3. Penanganam Enuresis
Penanganan rumahan untuk mengompol telah melebar dari sekedar membatasi asupan cairan hingga mengundurkan anak-anak di atas bola-bola golf atau menggantungkan bukti kesalahan, sprei basah-di jendela ( Houts, 1991 ). Dua macam penanganan yang paling banyak digunakan oleh professional adalah pemberian obat atau system alarm urin. Sebuah lonceng dan sebuah baterai tersambung dengan kabel ke sebuah bantalan yang terdiri dari dua lembar kertas metalik, lembar bagian tasa berlubang-lubang, dan di antara kedua lembaran tersebut terdapat selapis kain penyerap.
Metode lain yang menggunakan pendekatan pengkondisian operan tanpa bantuan alarm urin tidak seberhasil metode alarm ( Houts, 2000; Houts, Berman, & Abramason, 1994 ). Di sisi lain, keberhasilan yang lebih besar dapat dicapai dengan memberi tambahan pada prosedur alarm urine dasar, seperti minum dalam jumlah yang lebih banyak selama beberapa malam berturut-turut sebelum waktu tidur ( agar sia anak terbiasa menahan cairan di kandung kemih tanapa mengompol ). Dan memastikan bahwa si anak terbangun dan mengganti seprei setiap kali alarm berbunyi ( untuk menambah konsekuensi negative mengompol ) ( Barclay & Houts, 1995; Mellon & Houts, 1998 ).
Pendekatan yang lain adalah penanganan farmakologis. Sekitas sepertiga pasien enuretik yang berupaya mendapatkan bantuan professional diberi resep obat, seperti obat antidpresan imipramin ( Tofranil ) dan baru-baru ini, desmopresin yang meningkatkan penyerapan air dalam ginjal. Pemberian obat semacam itu memberikan hasil dengan cara mengubah reaktivitas otot yang digunakan dalam berkemih ( imipramin ) atau dengan mengkonsetrasikan urine dalam kandung kemih ( Desmopresin ).


Sumber:
Davidson Gerald C., Nille, M. kring ann. M. ( 2004 ) abnormal edisi ke-9, Rajawali press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar