Jumat, 25 Desember 2009

bunuh diri

Terjun dari mal yang dilakukan empat orang setidaknya dalam dua pekan lalu membuat kita bertanya: ada apa? Di duga mereka terjun dari ketinggian gedung bertingkat di Jakarta, mereka meloncat karena sengaja bunuh diri. Fenomena di dalam masyarakat yang belum terpecahkan sampai saat ini. Sosiolog merumuskannya sebagai masyarakat sakit. Dalam kondisi sakit, perbuatan emosional apapun bisa terjadi. Kondisi ini menunjukkan hilangnya kontrol negara terhadap masyarakat. Supremasi hukum kendur, kekuatan moral hancur. Perilaku anarkis jadi akses demokratisasi.

Menurut teori psikoanalisis Husserl, keadaan ini disebabkan hilangnya kesadaran. Untuk menyembuhkan dilakukan dengan cara meringankan beban lewat pengenalan persoalan. Titik tolak eksistensialistis versi Sartre bersumber pada kesadaran keberadaan manusia-tidak mencukupi. Perlu dikenali faktor lingkungan, di mana kondisi tertentu ( exceptional conditions) yang mengakibatkan kesadaran eksistensial berlaku. Peristiwa emosi dijelaskan sebagai bentuk ketidaksadaran tidak mencukupi. Menyelesaikan persoalan dengan cara membedah persoalan internal kepribadian tidak memadai. Bunuh diri dan meluapkan kemarahan tidak sekedar persoalan emosi, tetapi juga faktor kondisi lingkungan. Analisis politis menyatakan keadaan serba genting (“zaman edan” versi Ranggawarsita) menunjukkan terlepasnya simpul-simpul kepemimpinan.

Kondisi sakit membuat semua tidak normal. Cara mengatasi persoalan tidak selesai dengan memperkenalkan persoalan personal, tetapi juga esensi persoalan lingkungan. Kondisi sakit harus diobati, memberikan janji hanya memperlambat harapan atau meredam emosi sesaat, bahkan memperburuk kondisi. Kasus bunuh diri yang marak belakangan ini, unjuk rasa dengan cara emosional, tidak selesai dengan membereskan persoalan internal pribadi masing-masing, tetapi juga perbaikan kondisi lingkungan. Ketegasan dan kesigapan pimpinan nasional sebagai cermin kepercayaan diri menjadi syarat. Membiarkan persoalan menyelesaikan masalahnya sendiri ibarat melepaskan kepercayaan dan tanggung jawab. Berpikir jernih dan bijak, saran yang positif, tidak diwarnai prasangka, merupakan rasa representasi tinggi.

Sekitar abad kedelapan Goethe, seorang penulis kesohor bertutur dalam novelnya, “ The Sorrows of Young Werther”. Dikisahkan sang tokoh protagonis, Werther sengaja mengakhiri hidup karena cintanya kepada tokoh utama perempuan gagal. Dalam waktu singkat novel tersebut beredar, tindakan Werther ditiru oleh banyak pembacanya dengan memakai pakaian dan cara mati yang serupa dilakukan dalam novel tersebut. Kejadian yang sempat menggemparkan bumi Eropa saat itu sehingga novel tersebut dilarang beredar. Dari situlah muncul istilah Werther effect, atau bunuh diri yang menjalar cepat bak penyakit menular ( contagious ). Mereka mengimitasi apa yang di baca, dilihat, atau didengar terutama bagi individu yang rentan.
Peniruan bunuh diri ( copycat suicide ) lebih tepat dipakai untuk mengistilahkan bunuh diri manjalar diantara kelompok teman, namun tak perlu berbeda dengan perilaku bunuh diri yang ditularkan lewat berbagai bentuk media. Begitu banyak bukti bahwa media mempunyai andil besar terhadap perilaku bunuh diri ( Fu & Yip, 2007 ). Umumnya remaja dan dewasa muda yang mempunyai faktor risikolah yang banyak mengimitasi perilaku bunuh diri dengan metode yang sama. Melompat dari gedung tinggi menjadi semacam tren akhir-akhir ini, baik di pusat perbelanjaan, gedung apartemen, menara tinggi maupun sejenisnya.
Mungkinkah pengelolaan gedung di Indonesia mulai bertindak dan berpikir seperti itu? Hal itu tidak boleh dianggap sepele, melihat banyak korban yang berjatuhan. Semua komponen masyarakat ikut bertanggung jawab. Mengenai peristiwa bunuh diri, seyogyanya media memberitahukan secara lebih bertanggung jawab, akurat, dan lebih sensitive memegang etika reportase. Hal penting lainnya, tidak perlu melakukan penyederhanaan penyebab masalah bunuh diri. Kerap kali media menyebutkan penyebab bunuh diri karena faktor tunggal, misalnya karena himpitan ekonomi atau masalah dengan pasangan.
Akibatnya, sekelompok orang yang mengalami “nasib” yang sama sudah terlintas mempunyai ide untuk mati, seakan diberikan justifikasi untuk melakukan hal yang sama. Lebih-lebih bila ada “model” yang biasa ditiru atau celebrity suicide di berbagai penjuru dunia. Tindakan bunuh diri bukanlah sesederhana yang sering kita bicarakan selama ini. Sebuah interaksi rumit yang terjalin antara faktor biologik, genetik, psikologik, sosiobudaya, ekonomi, masalah interpersonal, kepribadian, dan masalah psikiatrik bukan merupakan faktor tunggal. Perilaku bunuh diri menunjukkan salah satu indikator tingkat kesehatan mental yang buruk di masyarakat. Sembilah puluh persen perilaku bunuh diri berkaitan erat dengan masalah kesehatan mental dan kedaruratan medik.
Ketika faktor mendasar tak diatasi, jumlah kasus bunuh diri akan melambung karena faktor pemicunya kian menyeruak, membuat kehidupan seakan tersedak. Sudah saatnya pula masyarakat mulai bergerak menyediakan sarana bagi sekelompok orang yang seakan terperangkap dalam labirin suram. Jangan biarkan mereka merasa tak ada harapan. Kita bisa mengulurkan tangan untuk sekedar menampung kegundahan mereka, bukan menyalahkan, tetapi memberikan dukungan. Sebagian besar dari mereka terbukti mengurungkan niat bunuh dirinya ketika ada akses seseorang yang empatik, mau memahami, mendengarkan, dan menberi dukungan yang bisa menghilangkan keputusasaan. Penderitaan tak layak diselesaikan lewat jalan pintas.
Patut di ingat, yang meninggal hanyalah sebagian kecil dari perilaku bunuh diri yang diberitakan, yang baru berniat atau tidak fatal tentu jauh berlipat kali jumlahnya. Inilah fenomena gunung es taraf kesehatan mental yang memburuk. Seakan menjadi silent killer yang tak terendus sehingga kita alpa mengantisipasinya. Lembaga nirlaba semacam Samaritans atau Papyrus yang sudah berdiri di berbagai belahan dunia mungkin bisa di pungut sebagai bahan inspirasi dengan beberapa modifikasi lokal.
Lembaga yang bisa menjadi sumber informasi lengkap dan memberikan udara segar bagi orang-orang yang membutuhkan tempat bersandar. Memberikan secercah lentera bagi orang-orang yang sedang melihat penderitaan tanpa harapan. Bahwa ada hikmah di balik musibah, seperti yang digambarkan Pincus (1972) dengan indahnya:
The is no growth without pain and conflict/ The is no loss which cannot lead to gain…………….






Sumber:
Harian KOMPAS (19/12/09)
www.kompas.com

1 komentar:

  1. bagaimana caranya kita mencegah seseorang yang ingin bunuh diri?

    BalasHapus