Senin (25/10) dua pulau di kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, hancur berkeping-keping di hantam gempa dan diterjang Tsunami setinggi 7 meter. Tsunami berkekuatan 7,2 skala richer telah meluluh lantahkan kepulauan Mentawai. Banyak korban yang berjatuhan, korban tsunami yang selamat akan di ungsikan di berbagai titik tempat pengungsian.
Lingkungan pasca terjadinya Tsunami dapat mempengaruhi kesehatan baik fisik maupun psikis korban Tsunami. Pasca terjadinya Tsunami banyak korban yang mengalami depresi, trauma, diare, flu, dan lain sebagainya. Karena lingkungan yang mereka tempati masih mengingatkan luka yang begitu dalam bagi para korban Tsunami. Banyak relawan dari berbagai tempat yang berpartisipasi untuk memberikan bantuan serta penanganan untuk para korban Tsunami, baik secara materil, tenaga, pendidikan, kesehatan, bahan makanan, pakaian, dan lain sebagainya.
Penanganan bagi korban Tsunami
Kami membuat sebuah simulasi dengan menggambarkan bahwa para korban Tsunami masuk kedalam kelompok kecil dan kelompok jangka pendek. Menurut (Sears, Freeman & Peplau 1991) kelompok kecil terdiri dari keluarga, teman saling berinteraksi dan saling menyadari keberadaannya sedangkan kelompok jangka pendek terdiri dari relawan, dan para korban Tsunami. Dari eksperimen (Lott & Lott 1965) yang telah mereka lakukan, disimpulkan bahwa hubungan yang relative sukarela antara orang-orang yang tidak terlalu jauh berbeda dalam hal-hal yang dapat menjauhkan antara pribadi.
Dalam penanganan yang kami lakukan untuk para korban tsunami dengan melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada para korban. Sesuai dengan teori (Lott & Lott 1965) agar dapat saling menerima keberadaan satu sama lain. Untuk menggali informasi dari korban Tsunami, kami menggunakan teknik wawancara kognitif ( McCarley & Fisher, 1995) agar trauma yang mereka alami tidak sampai pada tahap yang lebih dalam lagi, seperti skizofrenia, terutama pada anak-anak korban Tsunami di Mentawai.
Sebagian besar anak-anak korban Tsunami di Mentawai masih belum bisa kembali bersekolah, karena hampir semua gedung sekolah hancur dan perlu adanya perbaikan. Kami mencoba memberikan penanganan untuk anak-anak korban Tsunami di mentawai dengan memberikan keterampilan yang terlatih untuk meningkatkan prestasi ( Bell & Yee, 1989). Seperti membuat keterampilan dengan kertas origami (burung-burungan, kapal-kapalan), bermain dengan menggunakan karet gelang dengan berbagai macam bentuk untuk melatih keterampilan motorik, bermain bola dengan fasilitas yang ada di sekitar lingkungan pengungsian. Kami mengajak anak-anak korban Tsunami bermain sambil belajar, dengan begitu mereka tetap mendapatkan pendidikan selama masih berada dalam lingkungan pengungsian.
Banyak para korban bencana yang mengalami gangguan psikis baik depresi maupun trauma, bukan hanya orang dewasa saja, anak-anak pun mengalaminya. Penanganan yang kami lakukan untuk orang dewasa yaitu dengan terapi kelompok yang bertujuan bahwa bukan hanya satu orang saja yang mengalami kejadian tersebut tetapi masih banyak korban lain yang mengalami bencana tersebut dan sama-sama kehilangan orang yang mereka sayangi. Penanganan selanjutnya kami memakai Cognitive behavior therapy (CBT) yaitu terapi yang mengajak penderita untuk mempelajari bagaimana mencerna atau mempersepsikan peristiwa kehidupannya. Mulai dari persepsi yang tidak rasional menjadi persepsi yang rasional. Agar para korban dapat belajar mengenali masalah secara objektif, berpikir positif dan masalah dari aspek yang sehat. Dengan begitu para korban yang berada dalam pengungsian dapat saling memberi suport.
KELOMPOK: PSIKOLOGI KELOMPOK
- Ana Hasanah (10508014)
- Epsi lastining Tyas (10508273)
- Nyoman iswahyuni Pratiwi (10508166)
- Yulie Rizki Utami (10508245)
- Yusti Yuliani (10508249)
3pa06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar